Mahar
termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita
dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang
besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena
pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa
mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun
secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat
dalam aqad pernikahan.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita yang hukumnya wajib.Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah,
dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar
lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.
Di Arab
pada zaman pra-Islam, pembayaran mahar diharuskan kepada suku atau keluarga
pengantin wanita sebagai imbalan atas hilangnya kemampuan melahirkan keturunan
daripadanya dan sebagai sarana untuk menciptakan kestabilan ikatan dan hubungan
antara dua keluarga, telah jelas bahwa sebelum datangnya Islam pun mahar sudah
diakui di Arab sebagai milik sah pengantin wanita sendiri.
Mahar
merupakan salah satu ciri khas Hukum Perkawinan Islam yang hokum dan prakteknya
sudah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Pengertian
Mahar
Kata “mahar”
berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar,
yakni “Mahran” atau kata kerja, yakni fi’il dari “mahara-yamaharu-maharan”.
Lalu, dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr, dan kini
sudah diindonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau karena kebiasaan
pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan maskawin.
Di
kalangan fuqaha, di samping perkataan”mahar”, juga digunakan istilah
lainnya, yakni shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah
mahar.Dengan pengertian etimologi tersebut, istilah mahar merupakan pemberian
yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya
wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam
al-Quran maupun Al-Hadits.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan pemberian wajib berupa
uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
dilangsungkan akad nikah.Definisi ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di
Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.
Menurut
Sayyid Sabiq (1992:53), mahar adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan
oleh seorang mempelai pria dengan sebab nikah atau watha’. Penyebutan
mahar hukumnya sunnat, baik dari segi jumlah maupun bentuk barangnya dalam
suatu akad perkawinan.Apa pun barang yang bernilai adalah sah untuk dijadikan
mahar. Demikian pula menurut Taqiyuddin (t.t.:37) bahwa penyebutan mahar
hukumnya sunnat. Jika tidak disebutkan, nikanya tetap sah dan suami wajib
membayar mahar mitsil.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mahar adalah
pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita berupa harta
atau manfaat karena adanya ikatan perkawinan.Bentuk dan jenis mahar tidak
ditetapkan dalam hukum perkawinan Islam, tetapi kedua mempelai dianjurkan melakukan
musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan diberikan. Apabila pihak mempelai
wanita sepakat dengan mahar yang ditawarkan oleh pihak mempelai pria, bentuk
dan jenisnya dapat ditetapkan oleh kedua belah pihak.
Dengan
demikian mahar adalah merupakan suatu kewajiban yang harus dibayarkan suami
kepada istrinya.Kewajiban membayar mahar ini disebabkan dua hal, yaitu ada akad
nikah yang sah dan terjadi senggama sungguhan (bukan karena zina).
Cara-cara
pelaksanaan pembayaran mahar sebagai berikut :
a . Mahar dibayar dengan cara kontan
b . Mahar
dibayar dengan cara di tangguhkan sampai batas waktu yang disepakati.
c . Mahar dibayar dengan cara dicicil sampai lunas, dan
d . Mahar
dibayar dengan cara pemberian uang muka, sisanya diangsur atau sekaligus
perjanjian.
Dasar Hukum Membayar Mahar
Dasar wajibnya
menyerahkan mahar diantaranya ditetapkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 4
وَآَتُوا النِّسَاءَ
صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
dan surat An-Nisa’ ayat
25
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ
أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ
مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ
“. . .kawinilah mereka dengan
seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula)
wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;”
Selain ayat-ayat di atas,
pembahasan tentang mahar juga terdapat dalam sutar An-Nisa’ ayat 21-22, surat
Al-Baqarah ayat237, dan surat Al-Maidah ayat 5.
Dasar
hukum kedua adalah hadis, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majjah,
قاَلَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ النِّسَاءِ أَحْسَنُهُنَّ وُجُوْهاً
وَأَرْخَصُهُنَّ مُهُوْراً
“Sebaik-baiknya wanita,
yang cantik wajahnya dan paling murah maharnya.“ (Hadis Riwayat Ibnu Majjah).
عَنْ عَامِرِ بْنِ
رَبِيْعَةَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى
نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
أَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ قَالَتْ : نَعَمْ. قَالَ:
فَأَجَازَهُ
“Dari Amir bin Rabi’ah,
Sesungguhnya seorang perempuan dari suku Fazarah telah menikah dengan maskawin
dua sandal, maka Rasulullah SAW. bertanya kepada perempuan itu, sukakah engkau
menyerahkan dirimu serta rahasiamu dengan dua sandal itu? Jawab perempuan itu,
Ya, saya ridha dengan hal itu. Maka Rasulullah SAW. membiarkan pernikahan
tersebut.” (H.R. Ahmad, Ibnu Majjah dan Tiemidzi).
Rasulullah SAW. bersabda
:
تَزَوَّجْ وَلَوْ
بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
“Kawinlahengkausekalipundenganmaskawincincindaribesi”.(HR. Bukhori)
Ketentuan
mahar di Indonesia ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam. Bunyi selengkapnya
adalah:
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib
membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar
berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung
kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya
Pasal 33
1 . Penyerahan
mahar dilakukan dengan tunai.
2 . Apabila
calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik
untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan menjadi utang
(calon) mempelai pria.
Pasal 34
1 . Kewajiban
penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.
2 . Kelalaian
menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan
batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang,
tidak mengurangi sahnya pernikahan.
Pasal 35
1 . Suami
yang menalak istrinya qobla ad-dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’, ed.) wajib
membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
2 . Apabila
suami meninggal dunia qobla ad-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan
menjadi hak penuh istrinya.
3 . Apabila
perceraian terjadi qobla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka
suami wajib membayar mahar mitsl.
Pasal 36
Apabila mahar hilang
sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk
dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang
senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih
pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya
diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
1 . Apabila
mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai
wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap
lunas.
2 . Apabila
istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya
dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar
dianggap masih belum dibayar.
Pembayaran
mahar tidak termasuk rukun dan syarat dalam perkawinan, tetapi tidak ada nikah
yang sah jika tidak disertai pembayaran mahar. Dengan demikian, salah satu
syarat sahnya pernikahan adalah adanya akad atau ijab kabul, dan dalam
pengucapan ijab kabul harus disebutkan pula mengenai mahar yang diberikan oleh
calon suami. Hal itu berarti kedudukan mahar tidak berbeda dengan kedudukan
suarat-syarat dalam menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami
istri.Perlambang itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang
melangsungkan akad.Inilah yang merupakan sighat dalam pernikahan.
Kadar (Jumlah) Mahar
Agama
tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin.Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya.Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang
lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya.Sebaliknya, orang yang miskin ada
yang hampir tidak mampu memberinya.
Karena
merupakan hak mempelai wanita, pihak mempelai wanita berhak memilih dan
menentukan maharnya.Ia berhak meminta mahar dalam jumlah besar atau kecil, dan
berhak mengembalikan segala sesuatu kepada pihak mempelai laki-laki. Ia pun
berhak meminta mahar dalam bentuk emas, rumah, tanah, mobil, dan sebagainya.
Hanya yang paling berkah adalah permintaan mahar yang murah dan sederhana.
اَبْرَكُهُنَّ
اَقَلُّهُنَّ مَهْرًا
“Yang paling membawa
berkah adalah wanita yang paling sedikit maharnya.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Imam
Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan
Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidakmengenalbatas tinggi rendah, besar dan
kecil. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat
dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan
pengikut Imam Malik.
Sebagian
Ulama’ mewajibkan penentuan batas tinggi rendahnya mahar, kemudian Ulama’ itu
berselisih dalam dua pendapat.Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Imam Malik
dan pengikutnya, sedangkan pendapat kedua dating dari Imam Abu Hanifah dan para
pengikutnya.
Imam
Malik berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu harus mencapai seperempat
dinar atau perak seberat tiga dirham timbangan, atau barang yang sebanding
dengan tiga dirham tersebut.Imam Malik berkata bahwa paling sedikit mahar itu
harus mencapai empat puluh dirham.
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa mahar paling sedikit sepuluh dirham.Menurut yang
lain cukup lima dirham. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa mahar paling
sedikit empat puluh dirham.
Perbedaan
pendapat tentang batas minimal (terendah) mahar tersebut disebabkan oleh dua faktor.
1 . Ketidak
jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis
pertukaran, dimana yang dijadikan pegangannya adalah kerelaan menerima ganti,
baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai
suatu ibadah, yang sudah ada ketentuannya. Hal tersebut ditinjau dari segi
bahwa dengan mahar itu memberikan wewenang kepada seorang lelaki untuk memiliki
jasad seorang wanita untuk selamanya, sehingga perkawinan itu mirip dengan
pertukaran. Akan tetapi, bila ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan
persetujuan untuk meniadakan mahar, itu mirip dengan ibadah.
2 . Adanya
pertentangan qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar, dengan mahfum
hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan adalah bahwa pernikahan adalah ibadah, sedangkan ibadah itu sudah
ada ketentuan-ketentuannya.
Macam-macam Mahar
Mahar Musamma
Mahar
musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam sighat
akad.Mahar musaimaada dua macam, yaitu :
1) Mahar
musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera
diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar
hukumnya sunnah.
2) Mahar
musamma ghair mu’ajjal, yakni mahar yang
pemberiannya ditanggauhkan.
Dalam
kaitannya dengan pemberian mahar, wajib hukumnya membayar mahar musamma apabila
telah terjadi dukhul.Apabila salah seorang dari suami atau istri meninggal
dunia sebagaimana disepakati oleh para ulama; apabila telah terjadi khalwat
(bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar.
Mahar Mistil
Mahar
mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima
oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akad nikah jumlah mahar belum
ditetapkan bentuknya.
Allah SWT berfirman dalam
surah al-Baqarah ayat 236 :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian)
kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 236)
Menurut
Imam Malik dan para pengikutnya, berdasarkan ayat di atas, seorang suami boleh
memilih salah satu dari tiga kemungkinan. Apakah ia menceraikan istrinya tanpa
menentukan maharnya atau menentukan maharnya, sebagaimana yang diminta oleh
para istri. Atau ia menentukan mahar mitsil-nya, sebagaimana pada ayat di atas
dijelaskan secara rinci pada kalimat, “Hendaklah kalian berikan suatu mut’ah
menurut kemampuanmu.” Demikian pula dalam surat An-Nisa’ ayat 4:
وَآَتُوا النِّسَاءَ
صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa ayat 4)
Berdasarkan
ayat di atas, kemungkinan pertama sebagaimana yang dikemukakan olehImam Malik
bertentangan dengan ayat bersangkutan, sedangkan kemungkinan kedua dipandang akan
memberatkan pihak bekas suami, apabila pihak istri meminta jumlah mahar yang
tinggi.
Kemungkinan
ketiga, yaitu membayar mahar mistil dipandang lebih adil dan bijaksana karena
hal itu didasarkan kepada kemampuan pihak suami dengan mengacu pada mahar yang
biasa diterima oelh pihak istri. Hal ini diperkuat oleh hadis yang menyebutkan
kasus seorang suami yang menceraikan istrinya setelah terjadi dukhul, sementara
ia belum menetapkan jumlah maharnya. Begitu pula seorang suami yang meninggal
sebelum terjadi dukhul, sedangkan ia belum sempat menetapkan maharnya yang
ahrus diberikan kepada istrinya.
Kaitannya
dengan penundaan pembayaran mahar, para fukaha bebeda pendapat.Sebagian fukaha
melarang menunda pembayaran mahar, sementara sebagian ulama membolehkan. Imam
malik menegaskan bahwa: boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami
hendak menggauli istrinya hendaknya ia membayar separuhnya. Cara penundaan
pembayaran mahar harus waktunya dan tidak terlalu lama.oleh karena itu, batas
waktunya harus disepakati oleh kedua belah pihak (Ibnu Rusyd, 1990:394)
Dianjurkan
untuk menunda pembayaran mahar dengan batas waktu yang jelas dan tidak sampai
tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau istrinya.Akan tetapi,
Al-Auza’I (1990:394) berpendapat bahwa menunda pembayaran mahar dibolehkan
meskipun sampai kematian atau terjadinya perceraian.Penundaan pembayaran mahar
tidak terbatas sebagaimana dalam jual-beli karena penundaan pembayaran mahar
bersifat ibadah.Yang terpenting, suami tetap wajib membayar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar